Jakarta – Waktu mulai beranjak siang. Para pimpinan hakim agung bergiliran keluar dari ruang Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali setelah rapat. Hatta Ali pun meneruskan pekerjaannya, memeriksa tumpukan berkas di meja kerjanya.

“Banyak yang bilang, saya ini bertangan dingin,” kata Hatta Ali saat berbincang dengan detikcom di ruang kerjanya di lantai 2 Gedung Mahkamah Agung, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (8/1/2015).

Ungkapan ini menjawab kinerjanya selama 3 tahun terakhir sebagai Ketua MA. Setelah dilantik pada 1 Maret 2012, ia langsung membenamkan diri mereformasi lembaganya secara diam-diam. Bekerja dalam senyap. Gebrakan pertama yaitu memberikan hukuman bagi hakim nakal. Tidak tanggung-tanggung, ia melengserkan hakim agung Ahmad Yamani. Pertama dalam sejarah Indonesia.

“Ibarat kanker, harus segera dibuang. Ini pertaruhan lembaga,” ujarnya.

Ahmad Yamani merupakan anggota majelis yang memalsu putusan Hengky Gunawan. Awalnya, gembong narkoba itu dihukum mati. Oleh majelis yang diketuai Imron Anwari dan Hakim Nyak Pha, hukuman Hengky diubah menjadi 15 tahun penjara. Tapi saat berkas putusan dikirim, Yamani ‘membegal’ dan mencoret amarnya menjadi 12 tahun penjara. Yamani lalu dipecat lewat Majelis Kehormatan Hakim (MKH) pada Desember 2012.

Langkah beraninya itu sempat membuat koleganya memberikan masukan supaya pemecatan itu tidak dilakukan. Tapi Hatta Ali ini tetap dengan pendiriannya.

“Saya tidak takut dan ini pertama kali dalam sejarah Mahkamah Agung,” tegasnya.
Jejak selanjutnya ia mulai menata kelembagaan, baik secara internal maupun eksternal. Pertama yang ia lakukan yaitu memperjuangkan kesejahteraan hakim sebab hakim merupakan figur sentral dalam sebuah peradilan.

“Jika penghasilannya cukup, tentu sedikit banyak mengurangi tindak untuk macam-macam,” ucap mantan Plt. Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sabang itu.

Hasilnya moncer. Penghasilan hakim meningkat berkali-kali lipat. Jika dulu hakim yang baru masuk mendapat penghasilan sekitar Rp 6 juta, saat ini bisa mencapai Rp 12 jutaan. Bahkan untuk Ketua Pengadilan Tinggi bisa mengantongi Rp 40 jutaan per bulan.

“Kalau sekarang, hakim jangan sok melarat. Itu bisa memancing pihak-pihak lain untuk berbuat sesuatu,” ujar Hatta yang mengawali karier sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Sabang, Aceh, itu.

Tidak hanya hakim karier, tetapi juga hakim ad hoc ia perjuangkan dan hasilnya cukup signifikan. Terakhir, tunjangan hakim agung tembus dengan nilai paling tinggi dibanding pejabat negara lainnya di Indonesia, yaitu hakim agung sedikitnya mendapat Rp 75 jutaan, pimpinan MA Rp 85 jutaan, Wakil Ketua MA Rp 100 jutaan dan Ketua MA Rp 120 jutaan. Dengan angka di atas, maka ia berharap tidak ada alasan lagi para hakim untuk bekerja setengah-setengah. Baginya, dengan penghasilan di atas, cukup bagi hakim untuk hidup dengan sederhana dan wajar.

“Malah kalau perlu, hakim yang memberikan sumbangan,” seloroh hakim agung yang dilantik pada 2004 lalu.

Usai membenahi pengawasan dan kesejahteraan, ia lalu membenahi manajemen perkara internal. Ia mengeluarkan kebijakan revolusioner dalam sejarah MA yaitu mewajibkan menyetor soft copy berkas perkara saat masuk ke MA. Hasilnya di luar dugaan, di akhir 2014 lalu hanya tersisa 4 ribuan perkara, sangat jauh dibandingkan 10 tahun lalu yang menyisakan 20 ribuan perkara tiap tahunnya

“Sekarang tiga bulan perkara harus putus, paling lambat tiga bulan harus putus kecuali perkara-perkara tertentu. Masyarakat jangan kaget seperti dulu. ‘Wah ini kok cepat sekali, ini pasti ada apa-apanya’. Sekarang paradigma diubah. Kalau bisa 1 mingu diputus, putus,” ucap pria kelahiran Pare-pare pada 7 April 1950 itu.

“Apa bukan suatu gerakan revolusioner yang begitu drastis. Luar biasa, belum pernah terjadi sebelum ini,” sambung Ketua MA yang menggantikan Harifin Tumpa ini.

Selain itu, IT juga difungsikan untuk memberikan pelayanan kepada publik terkait perkara. Hasilnya, masyarakat tidak perlu berinteraksi dengan aparat pengadilan dan mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kita hindari interaksi ini, membayar ongkos perkara pun di bank. Yang kita benahi adalah sistem,” beber Hatta yang akan mendapat anugerah profesor dari Universitas Airlangga (Unair) pada 31 Januari nanti.

Untuk transparansi, Hatta Ali mengerahkan kekuatan IT untuk mempublikasikan putusan pengadilan di seluruh Indonesia. Hasilnya luar biasa. Website MA menjadi website pengadilan dengan jumlah putusan terbanyak di dunia. Tidak hanya kuantitas, publikasi ini secara tidak langsung juga memberikan koreksi kualitas putusan para hakim di seluruh Indonesia.

“Sengaja (membuat hakim lebih berhati-hati), dengan demikian, pasti hakim berhati-hati dalam memutus. Putusannya bisa dilihat oleh semua orang, bisa mengkritisi putusan, kualifikasi hakim terlihat dari putusannnya. Hakim akan berhati-hati, kalau dulu asal, sekarang baik-baik jangan salah pasal, redaksi,” kata Hatta yang pernah menjadi Ketua Muda MA bidang Pengawasan itu.

Di kepemimpinannya, ia juga menyelesaikan maket pembangunan gedung MA setinggi 16 lantai. Proyek ini sudah setengah jalan dan ke depannya akan digunakan sebagai kantor yang komprehensif bagi 50-an hakim agung.

Langkah terakhir, yaitu ia meletakkan palu untuk mengadili perkara dan fokus untuk mengurusi kelembagaan. Selain itu, ia juga sadar jika menangani perkara maka akan diterpa isu-isu tidak sedap karena setiap perkara pasti bisa menimbulkan ketidakpuasan dari salah satu pihak. Sehingga apabila ia terkena isu yang tidak-tidak, maka bisa membuat citra pengadilan turun.

“Jika ketuanya diisukan ini itu, apa tidak malu anak buah saya,” kata mantan jubir MA ini.

Meski torehan kinerjanya meninggalkan jejak yang revolusioner, ia tidak pongah. Hatta Ali mengaku kinerjanya bisa berhasil karena didukung oleh 28 ribuan anak buah yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Itu semua tidak terlepas dari dukungan semua hakim kepada saya,” pungkasnya. [sumber : detik]

Categories: ARTIKELHOME

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.